Kamis, 23 April 2009

PERGUMULAN PONDOK PPESANTREN DALAM ERA OTONOMI PENDIDIKAN




PERGUMULAN PONDOK PESANTREN
DALAM ERA OTONOMI PENDIDIKAN

Oleh : Muh. Anang Prasetyo S.Pd


Abstrak

Keberadaan Pondok Pesantren dalam ranah pendidikan Indonesia, merupakan salah satu pilar awal pembentukan pendidikan di Indonesia. Dengan segala perlakuan yang diterima selama ini, sebagai akibat warisan tradisi kolonialisme Belanda, eksistensinya tetap punya pengaruh dan berdaya tahan banting. Keberadaannya merupakan kekuatan dan penuh nilai semangat juang kemandirian. Semangat yang dilatari eksistensi pesan Tuhan didalam al Qur’an dan sabda Nabi Muhammad, belajar dari ayunan hinggá liang lahat, merupakan konsekwensi amanat tingginya nilai ilmu pengetahuan.
Semangat pembaharuan, disisi lain, dengan dimasukkannya pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, merupakan jawaban para pengelola Pesantren terhadap pendidikan modern. Hal ini tentu saja tidak menyalahi konsep pesantren. Meskipun beberapa pesantren mengalami kendala. Namun watak dasar epistemologi pendidikan Islam sendiri, tidak mengenal dikotomi pendidikan, yakni yang sekular. Ini merupakan satu identitas yang khas. Keterpaduan ilmu kasbi dan wahbi. Ilmu yang diperoleh oleh data empirik dan ilmu yang diperoleh berdasar wahyu dengan otoritas keilmuan . Pada akhirnya menjadi sesuatu yang khas pula,yakni berpadunya nilai tradisonal dan modern dalam keharmonisan yang utuh.
Pada era otonomi dan alur kebijakan pemerintah, keberpihakan Pemerintah terhadap keberlangsungan Pesantren semakin mendapatkan tempat. Yakni adanya desentralisasi dan otonomi pendidikan non formal. Ini tentu dapat semakin mengukuhkan jatidiri pesantren. Hal ini suatu keniscayaan mengingat wujud tanggung jawab negara yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Sehingga masa depan pembangunan Indonesia, khususnya dalam pendidikan, mampu menunjukkan karakter jiwa bangsa Indonesia yang ramah, toleran terhadap perbedaan.


1. Pendahuluan
Peranan Pondok Pesantren dalam sejarah kependidikan Indonesia sungguh luar biasa. Khususnya sumbangsih dan peranan dalam mengawal jati diri bangsa Indonesia, yang berciri khas ketimuran, adaptif, toleran, tepo seliro dan nilai-nilai mendasar karakter keIndonesiaan. Termasuk juga dalam dalam sumbangsih kenegaraan, pembelaan terhadap bangsa dan negara, konon, tidak terlepas dari peranan Pondok Pesantren. Maka Pondok Pesantren, selanjutnya cukup disebut ponpes, menjadi nilai utama dalam arus utama –mainstream- pendidikan Indonesia.
Keberadaan ponpes yang sedemikian kuat itu, lebih didorong oleh semangat nilai – nilai Al Quran. Khususnya di dalam Surat Al Mjadalah 129 yang artinya, ”Sungguh Allah akan mengangkat orang yang beriman diantara kamu dan akan mengangkat seorang yang berilmu beberapa derajat”. Juga kebenaran sabda Nabi Muhammad SAW, ”Belajarlah ilmu dari ayunan hingga liang lahat”. Dalam terminologi pendidikan modern, yang dipakai John Dewey, long life education, yakni belajar sepanjang hayat.
Mengingat ponpes yang selama ini berjalan lebih bernuansa tradisional, yakni secara manajemen belum tertata dengan baku, artinya lebih tertuju kepada manajerial Kyai, juga kurikulum yang seakan cenderung ’statis’, dan seolah tidak mengikuti perkembangan jaman. Maka, ketika dihadapkan dengan dunia pendidikan modern, dengan landasan ilmu pengetahuan umum-nya, seolah-olah ponpes terkesan kurang berdaya. Karena selama ini hanya mengajarkan ilmu diniyah semata. Maka penulisan ini mencoba membedah pendidikan ponpes dari akar keberadaannya. Sembari sekilas diketengahkan epistemologi keilmuan dalam tradisi keislaman, sebagai bentuk pergeseran paradigma ilmu pengetahuan dalam kurikulum ponpes, maka kajian ini demikian urgen. Dan inilah hakekat pergumulan ponpes dalam ranah konseptual pendidikan.
Termasuk, tentu saja, didalamnya mengkaji bagaimana kondisi ponpes sebelum dan sesudah diberlakukannya Otonomi Pendidikan di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999. Maka pemahaman, pengkajian terhadap ponpes dan eksistensinya menjadi hal yang penting untuk diketahui bersama. Dengan pemahaman yang utuh tersebut, diharapkan bermanfaat bagi pengambil kebijakan, dalam hal ini pemerintah, juga secara internal para pengelola ponpes didalam penempatan diri. Hal ini lebih dalam rangka ikut mengawal arus besar pendidikan Nasional Indonesia, khususnya pendidikan non formal.

2. Pondok Pesantren dan pergumulan sejarah
Sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata arab fundug, yang berarti hotel atau asrama (Dhofier,1990:18).
Pesantren menurut Manfred (dalam Asrohah,1999:144) berasal dari masa sebelum Islam serta mempunyai kesamaan dengan Budha dalam bentuk asrama. Karena sekarang dianggap pasti bahwa Islam telah masuk ke wilayah kepulauan di asia Tenggara jauh lebih dini daripada perkiraan semula, yaitu sudah sejak pertengahan abad ke-9, tampaknya masuk akal, bahwa pendidikan agama yang melembaga berabad-abad berkembang secara paralel.
Sedangkan pesantren menurut Robson (dalam Asrohah,1999:144) berasal dari bahasa Tamil, sattiri, yang diartikan sebagai orang yang tinggal disebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum. Adapun menurut Dhofier (1982:18) pesantren , mendapat awalan pe dan akhiran an, lebih diartikan sebagai tempat tinggal santri .
Hampir senada dengan itu, Zarkasyi didalam majalah Sabili, N0. 9 th. XI 2003, istilah santri berasal dari bahasa sanskrit (san = orang baik ; tra = suka menolong) lembaga tempat belajar itupun kemudian mengikuti akar kata santri dan menjadi pe-santri-an atau ”pesantren”.
Sedangkan Berg (dalam Dhofier, 1990:18) berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Namun hal ini dibantah oleh sejarawan A. Mansyur Suryanegara, di Majalah Sabili N0. 9 Th. X 2003, dia mengatakan bahwa dalam Hindu hingga hari ini, di Bali misalnya, tidak memiliki konsep seperti pesantren. Pesantren lebih terispirasi pendidikan di Timur Tengah yang bernama madrasah.
Elemen dasar di dalam ponpes yaitu terdiri dari 5 elemen dasar. Meliputi Kyai, santri, masjid, kitab, pesantren (Dhofier,1990 : ). Atau istilah Zarkasyi, hal tersebut merupakan unsur-unsur penting pendidikan yang disebut catur pusat pendidikan. Yaitu meliputi Kiai atau ulama sebagai tokoh otoritatif, peserta didik, asrama dan sarana pendidikan, pendidikan agama Islam dan masjid sebagai pusat kegiatan pendidikan. Dan menurutnya ini lebih lengkap dibanding tri pusat pendidikan (sekolah, masyarakat, keluarga) di dalam sistem sekolah pada pendidikan umum.
Pada perkembangan sejarah, perkembangan pendidikan yang dianut oleh pesantren pada akhirnya, menjadi sesuatu yang ’menakutkan’ Belanda. Hal ini wajar, mengingat dalam perjalanannya, pesantren lebih banyak menjadi motor pergerakan dalam melawan penjajah . hal ini diakui Raffles sendiri dalam bukunya The History of Java (dalam Zarkasyi, 2003) tentang bahaya kiai terhadap kepentingan Belanda. Sehingga Belanda sejak akhir abad 19 mulai memperkenalkan sistem pendidikan barat untuk penduduk pribumi. Sekolah-sekolah tipe barat untuk penduduk pribumi ini dibuka dan dikembangkan atas saran Snouck Hurgronje. Tujuannya ialah untuk memperluas pengaruh pemerintahan kolonial Belanda dan menandingi pengaruh pesantren yang luar biasa (Dhofier, 1990 : 38). Hal ini secara khusus diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok berada). Sejak saat itu, tersebar pendidikan rakyat. Selanjutnya juga menerapkan politik etis yang mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai pedesaan.(Steenbrink dalam Asrahah, 1999:153).
Lambat laun, politik yang diterapkan Belanda untuk mengeliminasi peran pesantren dalam kehidupan masyarakat tersebut berhasil. Sehingga perlahan-lahan peran sentral pesantren tergantikan oleh sekolah modern yang diterapkan Belanda. Inilah titik balik pendidikan , Islam khususnya, di Indonesia. Dan dengan latar belakang ini pulalah, kelak pemerintahan Indonesia mengadopsi model dan sistem pendidikan barat. Inilah barangkali yang menjadikan Noercholis Madjid berpendapat bahwa ’jika saja tidak ada penjajahan Belanda, maka pola pendidikan pesantren menjadi pola pendidikan Indonesia sekarang’(Madjid,....)
3. Fakta sebelum Otonomi Pendidikan
4. Paradigma perubahan Ponpes
K.H Muhammad Ilyas, salah satu murid K.H Hasyim Asyari, yang pernah mendapatkan pendidikan HIS, memperkenalkan mata peklajaran umum di pesantren. Seperti membaca, menulis latin, ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu. Ini merupakan satu upaya yang cukup penting dalam kurikulum pendidikan pesantren.
Walaupun pesantren-pesantren sudah banyak yang mengadakan perubahan-perubahan yang mendasar sebagai jawaban positif atas perkembangan ini, namun perubahan tersebut masih sangat terbatas. Ada 2 alasan utama yang menyebabkannya, yaitu : 1. para kyai masih harus mempertahankan dasar-dasar tujuan pendidikan pesantren, yaitu bahwa pendidikan pada asarnya ditujukan untuk mempertahankan dan menyebarkan Islam;, dan 2. mereka belum memiliki staf sesuai dengan kebutuhan pembaharuan untuk megajarkan cabang-cabang pengetahuan umum. (Dhofier, 1990:39).
5. Masa depan Ponpes di Indonesia
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula didalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut adanya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih desentralistik (Chan,2007:1)
Bahkan Tilaar (dalam Chan, 2007:1) mempertegas bahwa desenralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Menurutya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah : (a) pembangunan masyarakat demokrasi; (b) pengembangan social kapital ; dan (c) peningkatan daya saing bangsa.
”...pesantren dan menyumbang penanaman iman, suatu yang diinginkan oleh tujuan pendidikan nasional. Budi luhur , kemandirian, kesehatan rohani, adalah tujuan pendidikan nasional, yang juga merupakan tujuan pendidikan pesantren”. (Tafsir,2000:203)
Hal ini juga sejalan dengan Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 2 / 89 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas merumuskan tujuannya pada Bab II, Pasal 4, yaitu mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Menurut Sulaiman (dalam Chan,2005: 17) maksud manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Disamping itu, juga memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Bandingkan dengan tujuan pendidikan pesantren, yang tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sderhana dan bersih hati. Setiap murid diajar agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan (Dhofier, 1990:21).
Secara panjang lebar, Zarkasyi (2003) menuturkan perihal sistem dan pembentukan karakter pendidikan pondok pesantren yang khas dan unik. Karakter pendidikan pesantren adalah menyeluruh. Artinya seluruh potensi pikir dan zikir, rasa dan karsa, jiwa dan raga dikembangkan melalui berbagai media pendidikan yang terbentuk dalam suatu komunitas yang sengaja didesain secara integral untuk tujuan pendidikan. Di dalam sistems sekolah pusat-pusat pendidikannya terpisah-pisah dan hampir tidak saling berhubungan. Di dalam klas atau di masjid para santri diajar ilmu pengetahuan kognitif, dan diluar ia memperoleh bimbingan serta menyaksikan suri tauladan dari kiai atau gurunya serta kawan-kawannya. Jadi kehidupan didalam pondok sudah merupakan pelajaran penting bagi santri seperti diajarkan oleh Islam itu sendiri. Doktrin tentang keimanan dalam teks, dilengkapi dengan pelajaran etika, ilmu kemasyarakatan, pendidikan, dan lain-lain diluar kelas. Pengertian kurikulum bagi pendidikan pesantren tidak terbatas pada pelajaran atau kitab-kitab yang dipakai, tapi keseluruhan kegiata di dalam asrama atau pondok.

6. Penutup & kesimpulan
Sebelum dan sesudah berlakunya otonomi daerah khususnya dalam tonomi pendidikan, setidaknya dapat dipetik dua catatan penting. Pertama , kebijakan tersebut menunjukkan kesadaran sekaligus kearifan pemerintah pusat dalam hal penanganan pondok pesantren, kedua semakin memberikan peluang dan pengembangan karakter pendidikan dan jati diri pesantren yang semakin kokoh. Tentu saja dalam kerangka pemberdayaan masyarakat Indonesia. Dan hal ini tidak lebih sebagai legal formal dari pemerintah terhadap pesantren.
Pertanyaannya kini, sebagaimana kiprah pesantren masa lalu, dan pembelaannya terhadap bangsa Indonesia, sepanjang sejarah selama ini, serta wujud tanggung jawab pemberdayaan pendidikan terhadap anak bangsa. Kiprah dan bakti apa yang bisa diberikan pemerintah dan negara terhadap pondok pesantren ?.


Daftar Pustaka

Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta : LP3ES, 1982
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, ed. Tjun Surjaman, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000
Chan, M.Sam, Tuti T. Sam, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2007

Landasan Spiritual dan Ketuhanan dalam Pendidikan

Oleh : Muh. Anang Prasetyo S.Pd

Abstrak

Pendidikan tanpa melandaskan pada kehadiran & nilai-nilai ketuhanan dan spiritualitas, akan menjadikan hakekat pendidikan menjadi kering akan makna. Ketidakbermaknaan ini, lebih pada sifat bawaan manusia yang cenderung bergantung kepada sesuatu yang mutlak. Krisis manusia modern adalah pengagungan pada akal. Padahal akal memiliki keterbatasan, akal bukan segala-galanya dalam pendidikan. Sehingga dibutuhkan ranah afektif, yang lebih bersifat pemenuhan terhadap jiwa. Sesuatu yang bersifat ruhaniyah, inilah nilai-nilai dan makna spiritualitas. Sedangkan pemenuhan nilai-nilai spiritualitas, tanpa dikembalikan kepada pencipta jiwa, yakni Tuhan, akan menyebabkan keterpisahan jiwa manusia, sebagai subyek didik, kepada Sang Penciptanya, Tuhan yang Maha Kuasa. Allah SWT.


A. Pendahuluan
Diskursus mengenai spiritual dan ketuhanan, khususnya sebagai landasan pendidikan sungguh menarik. Kemenarikan ini karena pendidikan yang berlandaskan kepada kedua hal (spiritual dan ketuhanan) tersebut , lebih merupakan perbincangan mengenai nilai kodrati manusia. Yakni tujuan pokok manusia diciptakan. Disamping, tengara zaman yang sekarang lagi bergaung adalah nilai-nilai spiritualitas di dunia, sedang menempati posisi ‘in’. Tidak saja dalam diskursus keagamaan, namun juga merambah ilmu pengetahuan lain, semisal pengembangan SDM kontemporer, Fisika & Biologi modern, dan lain-lain.
Pertanyaanya adalah, apakah spiritualitas dan ketuhanan, dalam koridor wilayah pemahaman Islam khususnya, benar-benar dibutuhkan dan suatu keharusan dijadikan landasan didalam pendidikan ?. Serta nilai-nilai pendidikan apa dan bagaimana , yang mampu dan selalu mewujudkan nilai spiritual dan aspek ketuhanan sebagai landasannya ?. Tujuannya jelas, yakni seberapa penting dan seberapa jauh manfaat serta makna spiritualitas dan ketuhanan menjadi landasan dalam pendidikan. Inilah, pokok bahasan yang sangat boleh jadi menimbulkan banyak pertanyaan dan diskusi pemikiran yang menarik untuk diperbincangkan.

B. Landasan Konseptual
Spiritual berasal dari bahasa latin, yang bermakna : batin, kejiwaan, ruhani,maknawi. Merupakan lawan dari animalis, wujud yang nyata, badaniyah, jasmaniyah, fana. Yaitu sesuatu yang berhubungan dengan supernatural, keruhanian, dan bukan temporal atau keduniawian (Komarudin:2006). Sedangkan spirit sendiri, didalam kamus Inggris Indonesia Drs. R. Hardjono, diartikan sebagai roh, semangat, jiwa, kegembiraan hati, suasana hati.
Zohar & Marshal (dalam Ginanjar:2005) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Sehingga spiritual dalam pembahasan ini lebih diartikan sebagai segala aspek yang dilandaskan kepada sesuatu yang bersifat ruhaniyah dan supernatural.
Sedangkan pembahasan mengenai Tuhan, dalam istilah yunani kuno ‘theos’(dewa, Tuhan). Yaitu sesuatu yang mutlak adanya, bersifat absolute, dan supernatural. Menurut Tjahjadi (2007: 23) Secara ontologis, menurut skema ‘ada’ = eksistensi, dia menyimpulkan bahwa Tuhan (Allah) itu ada dan bereksistensi. Anselmus (dalam Tjahjadi : 2007) memahami Tuhan ‘sebagai sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak bisa dipikirkan’. Dengan kata lain, demikian Tjahjadi, Tuhan adalah yang paling tinggi, paling jauh, dan paling dalam daripada segala sesuatu yang bisa dipikirkan manusia itu.
Namun demikian, tidak jarang para ilmuwan yang hanya melandaskan pada akal dan pada sesuatu yang empiris menganggap bahwa Sang Pencipta ini tidak ada. Ketidakmampuan menangkap keberadaan ketuhanan sebagai sang pencipta, karena sifat dasar ilmu pengetahuan barat sendiri, secara epistemologis hanya mendasarkan pada sesuatu yang bersifat empirik.
Menjawab sekaligus menampik pandangan para ilmuwan a-theis, yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan sang pencipta alam semesta ini, kiranya cukuplah Politzer (dalam Yahya,2001:10), ia mengatakan :
“…alam semesta pasti diciptakan, sekaligus oleh Tuhan dan dijadikan dari ketiadaan. Untuk menghasilkan ciptaan, ditempat pertama, penciptanya harus menghasilkan keberadaan tersebut pada waktu alam semesta tidak ada dan bahwa segala sesuatu muncul dari ketiadaan. Inilah yang tidak dapat dijelaskan ilmu pengetahuan ”.
Tuhan adalah ghoib, supernatural. Sehingga tidak bisa dilihat secara kasat mata. Jaspers (dalam Tjhajadi,2007:121) mengatakan “…sehingga pada jalan penyelidikan atas penampakan-penampakan itu, sumber ‘ada’ tidak akan pernah ditangkap”. Dalam hal ini ‘ada’ dengan satu kesederhanaan adalah Tuhan itu sendiri.
Sehingga, pendidikan dalam konteks ini dipahami :
“suatu upaya untuk memperkenalkan manusia akan eksistensi dirinya, baik sebagai diri pribadi yang memiliki ‘hurriyat al iradah’, yang hidup bersama dengan makhluk-makhluk yang lain , maupun sebagai hamba Tuhan yang terikat oleh hukum normatif (syariat / din-nullah), dan sekaligus sebagai ‘wakil Tuhan’ yang dibebani suatu tanggung jawab kosmis.
(Purwadi, 2002. :127).

Sebagaimana dikatakan Nanang Fattah (2006: 5), kehidupan relegius dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa (yang) dapat menghayati dan mengamalkan ajarannya sesuai dengan agamanya, dapat terwujud melalui pendidikan. Lebih lanjut Jalaludin (2001:48) dengan mengacu kepada prinsip penciptaan, maka menurut filsafat pendidikan Islam, manusia adalah makhluk yang berpotensi dan memiliki peluang untuk dididik.
Pada akhirnya, arah pendidikan bila dikaitkan dengan keberadaan dan hakekat kehidupan manusia, simpul Nanang Fattah (op.cit) yakni untuk pembentukan kepribadian manusia, yaitu mengembangkan manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk beragama (religius).
Karena manusia telah dibekali potensi nilai ketuhanan dalam dirinya, sehingga sejalan dengan hakekat pendidikan, manusia akan cenderung untuk akan mencari makna dan motivasi tujuan utama hidupnya. Viktor Frankl (dalam Johnson ,2007:62) mengatakan ”Pencarian seseorang akan makna adalah motivasi utama dalam hidupnya...dan hanya dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri ”.

C. Eksistensi Pendidikan, Ketuhanan dan spiritualitas
Pendidikan, hendaknya berkisar antara dua dimensi hidup; penanaman rasa taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama, demikian tulis Prof. Nurcholis Madjid di dalam pengantar buku Menuju Masyarakat Belajar (Sidi, 2001). Sehingga titik tekan pendidikan kepada penanaman rasa taqwa kepada Tuhan, merupakan sumber hakiki manusia. Karena pada prinsipnya manusia itu lemah dan serba tergantung. Ketergantungan itu ditegaskan oleh Schleimarcher (dalam Cassier:1990), “perasaan manusia tergantung secara mutlak pada Yang Illahi”.
Kemutlakan, sebagai ciri Ketuhanan, ternyata juga dimiliki oleh manusia. Prof. Khonstamm (dalam Lamijan, 2007:7) mengemukakan beberapa jenis perilaku dari berbagai makhluq diantaranya yaitu mutlak, dimana manusia dapat berkomunikasi dengan Maha Pencipta. Manusia dapat menghayati kehidupan beragama yang merupakan nilai yang paling tinggi dalam kehidupan manusia.
Luar biasanya lagi, sebagaimana diungkap oleh Dean Hamer (dalam Sentanu, 2007) bidang genetika perilaku dan neurobiology, menunjukkan bahwa setiap manusia sudah diwarisi dalam dirinya kecenderungan yang membuat otaknya haus sekaligus siap menerima tuntunan ‘kekuatan yang lebih tinggi’, kekuatan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ketika Abu Bakar Shidiq RA pernah ditanya : “bagaimana engkau mengenal Tuhanmu ?”, ia menjawab “aku mengenal Tuhan melalui Tuhanku. Seandainya Dia tidak ada, aku tidak mengenalnya” “bagaimana anda mengenal-Nya ?”, ia menjawab “ Ketidakmampuanku mengenal-Nya adalah pengenalan”. Quraish Shihab (dalam Husain, 2007:38)
Pengenalan atau pengetahuan terhadap diri, pada titik tertentu akan mampu mengantarkan kepada pengenalan Tuhan. Seseorang yang mampu mengakses secara terus menerus kesadaran dirinya dengan Penciptanya, akan menemukan berbagai rahasia kehidupan ini. Termasuk didalamnya aspek pendidikan yang dilakukan oleh seseorang. Inilah alasan, mengapa ‘seorang manusia yang eksis dalam kecerdasan spiritual, cenderung berwawasan luas dan mendalam’ (Suhartono , 2007:100). Lebih lanjut ia mengatakan :
“ Kecerdasan spiritual membuka wawasan memasuki dunia transenden yang tunggal dan bersifat absolute, yaitu dunia yang berada di luar jangkauan pikiran dan pengalaman manusia. Selanjutnya ,kecerdasan spiritual perlu dijadikan fondasi eksistensi kehidupan kehidupan manusia agar berlangsung dalam dinamika perkembangan secara konstan berdasarkan kesadaran mendalam tentang hakekat asal mula dan tujuan kehidupannya”

Spiritual capital, demikian Agusyana (dalam pengantar ESQ Power:2003), merupakan inner value manusia yang terletak pada god Spot (yang) berfungsi memberikan bisikan-bisikan suara yang senantiasa mendorong kearah mulia. Lebih jauh lagi apabila seseorang mengikuti dorongan suara hati spiritual tersebut,maka pada titik itulah manusia mengalami apa yang disebut ‘ultimate meaning’ atau ‘makna puncak’ (nilai spiritual).
Pembuktian ilmiah terhadap kecerdasan spiritual lebih lanjut dipaparkan oleh Zohar & Marshal (dalam Ginanjar : 2005). Pertama, riset ahli psikologi saraf, Michael Persinger awal tahun 90-an dan 1997 oleh VS Ramachandran yang menemukan eksistensi god spot dalam otak manusia –telah built in – sebagai pusat spiritual yang terletak diantara jaringan saraf dan otak. Riset ahli saraf Austria, Wolf Singer era 1990-an atas makalahnya : The Binding Problem, yang menunjukkan ada proses saraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha untuk menyatukan serta memberi makna dalam perjalanan hidup kita. Suatu jaringan saraf yang secara literal ‘mengikat’ pengalaman kita secara bersama untuk ‘hidup lebih bermakna’. Inilah yang juga ditegaskan oleh Jalaludin (2001:81) bahwa pendidikan merupakan bagian dari upaya untuk membantu manusia memperoleh kehidupan yang bermakna hingga diperoleh suatu kebahagiaan hidup, baik secara individu maupun kelompok.
Kebermaknaan dalam hidup ini teramat penting. Tanpa mengetahui makna hidup, bisa dipastikan seseorang akan mengalami kebingungan dalam menjawab tiga persoalan mendasar dalam hidup. Tiga hal ini merupakan sudut pandang ontologi, yakni apakah hakekat kejadian manusia, untuk apa manusia diciptakan dan akan kemana manusia itu sesudah mati. (Jalaludin, 2001 :17).
Pendidikan yang berlandaskan nilai spiritual diyakini mampu menghasilkan lima hal penting. Lima hal yang akan dikemukakan dibawah ini, menjadi diskusi utama para pengusaha sukses internasional yang diadakan di Harvard Bussines School. Diantaranya yaitu :
1. Integritas atau kejujuran
2. Energi atau semangat
3. Inspirasi atau ide dan inisiatif
4. Wisdom atau bijaksana
5. Keberanian dalam mengambil keputusan (Ginanjar (2003:5)
Barangkali, apabila nilai-nilai spiritual tidak diterapkan , dalam arti pendidikan yang hanya didasarkan atas rasio semata, sangat boleh jadi pendidikan tersebut hanya akan menghasilkan orang-orang yang cerdik pandai yang memiliki pikiran brilian, akan tetapi dalam pandangan jagatnya (world view) mempunyai asas-asas pikiran yang salah. (Fachry Ali dalam Purwadi ,2002:119).
Dalam kacamata Nurcholish Madjid, (dalam pengantar Sidi:2001),”… mampu membawa kepada keinsafan Ketuhanan yang lebih mendalam, melalui penghayatan keagungan dan kebesaran Tuhan sebagaimana tercermin dalam seluruh ciptaan-Nya”.
Sehingga , jika dicoba merinci apa saja wujud nyata atau substansi jiwa ketuhanan, maka didapatkan nilai-nilai keagamaan pribadi yang amat penting yang harus ditanamkan kepada setiap peserta didik.. Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah yang sesungguhnya akan menjadi inti kegiatan pendidikan. (pengantar Majid dalam Sidi ,2001). Secara panjang lebar Prof. Nurcholish Madjid, dalam pengantar tersebut, menjabarkan nilai-nilai ketuhanan (dalam konteks Agama Islam. pen) yaitu :
1. iman :yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan. Jadi tidak cukup kita hanya percaya kepada adanya Tuhan, melainkan harus meningkat menjadi sikap mempercayai kepada adanya Tuhan dan menaruh kepercayaan kepada-Nya.
2. Islam : sebagai kelanjutan adanya iman, maka sikap pasrah kepada-Nya (yang merupakan makna asal perkataan arab ‘islam’), dengan meyakini bahwa apapun yang dating dari Tuhan tentu mengandung hikmah kebaikan, yang tidak mungkin diketahui seluruh wujudnya oleh kita yang dlaif. Sikap taat (arab : din) tidak abash (dan tidak diterima oleh Tuhan) kecuali jika berupa sikap pasrah (islam) kepada-Nya.
3. Ihsan : yaitu kesdaran sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa hadir atau berada bersama kita dimana pun kita berada. Bertalian dengan ini, dank arena menginsafi bahwa Allah selalu mengawasi kita, maka kita harus berbuat, berlaku dan bertindak menjalankan sesuatu dengan sebaik mungkin dan penuh rasa tanggung jawab, tidak setengah-setengah dan tidak dengan sikap sekadarnya saja.
4. Taqwa : yaitu sikap yang sadar penuh bahwa Allah selalu mengawasi kita, kemudian kita berusaha berbuat hanya sesuatu yang diridhai Allah, dengan menjauhi atau m,enjaga diri dari sesuatu yang tidak diridhai-Nya.
5. Ikhlash : yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi memperoleh ridla atau perkenan Allah, dan bebas dari pamrih lahir batin, tertutup msupun terbuka. Dengan sikap yang ikhlas orang akan mampu mencapai tingkat tertinggi nilai karsa batinnya dan karya lahirnya, baik pribadi maupun sosial.
6. Tawakkal (dalam ejaan yang lebih tepat, ‘tawakul’) : yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah, dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan bahwa Dia akan menolong kita dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik. Karena kita ‘mempercayai’ atau ‘menaruh kepoercayaan’ kepada Allah, maka tawakkal adalah suatu kemestian.
7. Syukur : yaitu sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan, dalam hal ini atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya, yang dianugerahkan Allah kepada kita. Sikap bersyukur sebenarnya sikap optimis kepada hidup ini dan pandangan senantiasa berpengharapan kepadan Allah. Karena itu sikap bersyukur kepada Allah adalah sesungguhnya sikap bersyukur kepada diri sendiri (lihat al – Qur’an surat Luqman / 31 : 32), karena manfaat besar kejiwaannya akankembali kepada yang bersangkutan.
8. Shabr (sabar) : yaitu sikap tabah mengahadapi segala kepahitan hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, fisiologis maupun psikologis, karena keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Jadi sabar adalah sikap batin , yang tumbuh karena, kesadaran akan asal dan tujuan hidup, yaitu Allah SWT.
Bila melihat rumusan tersebut diatas, menjadi keniscayaan, bahwa manusia dapat mencapai tingkat kesempurnaan sejati. Kkesempurnaan tersebut bukan kemustahilan. Karena kesempurnaan manusia disini, menurut Kabir Helminski di dalam bukunya, The Knowing Heart : A Sufi Path of Transformation (dalam Sentanu 2007:19), adalah refleksi dari sifat – sifat Tuhan. Tuhan mempunyai sifat yang tidak terbatas yang 99 diantaranya disebutkan di dalam Al Qur’an. Kesempurnaan manusia adalah takdir bawaan kita, yang memerlukan hubungan yang harmonis anatara kesadaran kita dengan rahmat illahi. Selanjutnya Kabir Helminski menguraikan sifat-sifat manusia sempurna , diantaranya adalah:
1. Pengetahuan diri. Tingkat pengetahuan kita terhadap diri sendiri – kelemahan, keterbatasan, karakteristik, dan motivasi kita.
2. Pengendalian diri. Kemampuan untuk membimbing dan mentransendensikan dorongan-dorongan nafsu.
3. Pengetahuan yang obyektif. Pengetahuan yang berkesesuaian baik dengan kebutuhan praktis maupun realitas obyektif yang dapat diketahui melalui hati yang sadar dan suci.
4. Pengetahuan batin. Kemampuan untuk mengakses bimbingan dan makna dari dalam batin sendiri.
5. Hadir. Kemampuan untuk tetap dalam kondisi khusyuk, yakni secara sadar merasakan pengalaman.
6. Cinta tanpa pamrih. Mencintai Tuhan dan ciptaa-Nyya tanpa motif kepentingan diri
7. Meningkatkan perspektif illahiyah. Kemampuan untuk selalu melihat kejadian-kejadian dan manusia dari perspektif tertinggi cinta dan tauhid dan tyidak terperosok ke dalam penilaian dan pendapat yang egois.
8. Intim dengan Tuhan. Menyadari hubungan dengan sumber Ilahi.
Pada akhirnya, nilai-nilai kesempurnaan yang , sejatinya telah built in ini tinggal mengasah dan mempertajamnya. Karena potensi, akan tetap menjadi potensi jika tidak distimuli secara terus menerus. Karena watak dari pendidikan sendiri
D. Penutup
Inilah berbagai hal yang bersifat mendalam dan mendasar dalam pendidikan. Bagaimana, segala sesuatu didalam pendidikan tidak lepas dari landasan spiritual dan ketuhanan. Baik secara konseptual maupun praktikal. Sehingga, pendidikan berlandaskan spiritual dan ketuhanan merupakan keniscayaan. Pada akhirnya, inilah landasan filsafati yang seyogyanya menjadi pegangan para pengelola pendidikan, termasuk didalamnya guru. Guru yang memiliki nilai-nilai spiritualitas dan ketuhanan yang tinggi-lah, yang pada akhirnya mampu mengantarkan subyek didik, yakni peserta didik (siswa) mencapai kesadaran diri sebagai insan sesungguhnya. Sehingga segala langkah dan proses dalam pendidikan tidak muspra, sia-sia. Namun mampu memberikan makna, value didalam kehidupan di dunia, maupun di akhirat.
Dengan mengkonstruksi landasan spiritual dan ketuhanan di dalam pendidikan ,niscaya diatasnya akan terbangun sebuah nilai-nilai kemanusiaan sejati, yang mampu menghubungkan antara aspek kemanusiaan disatu sisi, serta manusia dengan Tuhannya. Dengan sendirinya, sekali lagi, spiritualitas kesadaran diri akan penyembahan kepada Tuhan, mampu mengantarkan manusia mencapai tingkat pendidikan yang sejati. Wallahu ‘alam












DAFTAR PUSTAKA

Anam, Saiful (ed), Indra Jati Sidi dari ITB untuk pembaruan pendidikan, Jakarta : Teraju, 2005.
Farid, Muhammad (ed), Dekonstruksi Pemikiran Islam Liberal : kritik fenomena JIL, Prof. Dr. H. Hamadi B. Husain, Malang :Pustaka Bayan : 2007
Ginanjar, Ari., ESQ Power, sebuah inner journey melalui al ihsan, Jakarta : Arga, 2003.
----------------, ESQ Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi & Spiritual, Jakarta : Arga, 2005
Jalaludin, Teologia Pendidikan/H. Jalaludin,-Ed. Revisi. Cet.3.-Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Johnson,Elaine B. Contextual Teaching and Learning : menjadikan kegiatan belajar mengajar mengasyikkan dan bermakna, penerjemah ibnu Setiawan, penyunting Ida Sitompul, Bandung : Mizan Learning Center (MLC), 2007.
Komarudin, Yooke Tjuparmah,, Kamus KaryaTulis Ilmiah, Jakarta : Bumi Aksara, 2006.
Purwadi, Agus. Teologi Filsafat dan Sains, pergumulan dalam peradaban mencari paradigma islam untuk ilmu dan pendidikan, Malang : UMM Press, 2002.
Sidi, Indra Jati. Menuju Masyarakat Belajar; menggagas paradigma baru pendidikan ; pengantar, Nurcholis Madjid. –Jakarta : Logos, 2001.
Sentanu, Erbe., Quantum Ikhlas, teknologi aktivasi kekuatan hati, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2007.
Susarno, Lamijan Hadi dkk (ed). Refleksi Pendidikan Masa Kini, Surabaya : UNESA bekerja sama Penerbit Bintang,
Suhartono, Suparlan., Filsafat Pendidikan, Jogjakarta : Ar Rzz Media, 2007
Tjahjadi, Simon Petrus., Tuhan para filsuf dan ilmuwan, dari Descartes sampai Whitehead, Jogjakarta : Kanisius, 2007
Widyamarta, R. Hardjono, Kamus Inggris Indonesia 6000 kata, Yogyakarta : Kanisius, 2005.

0 komentar:

  © Template Persembahan'Portrait' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP