Pembelajaran Yang Menggairahkan
oleh : Muhammad Anang P. S.Pd
Sesekali lihatlah keceriaan anak-anak TK. Amati dan hayati. Dalam belajar dan bermain menyatu menjadi satu. Wajahnya yang polos, tersenyum ceria dan kebahagiaan memancar dari wajahnya. Tawa dan kenesnya gerakan tubuhnya menunjukkan body language yang lepas. Ibu gurunya juga demikian antusias dalam mengajari anak-anak. Sesekali juga lihatlah, bagaimana sang guru mengajak bernyanyi, bermain serta bercerita yang menggugah jiwa. Seluruh indera anak terlibat. Si anak terlihat begitu perhatian dan selalu memperhatikan segala polah gurunya.
Lantas, pernahkah anda mencermati, memahami dan menghayati ?. ketika si anak memasuki jenjang berikutnya. Di Sekolah dasar. Baju dan sepatunya baru. Namun, apakah anda masih melihat keceriaan dalam pembelajaran di kelas. Lihatlah, masihkah antusiasme anak terlihat ?. Mungkin sebagian besar anak menunjukkan wajah tegang, keceriaan yang dulu bersinar, sekarang mulai temaram. Wajah dan gerakan tubuhnya tidak lagi menampakkan kegairahan. Ketika ia naik kelas dua, kemudian ke kelas tiga. Wajah ceria dan berbinar tadi semakin surut. Mungkin saat istirahat dan bermain bersama teman di luar kelas. Atau saat belajar olahraga, barulah ia nampak ceria dan semangat. Apalagi saat mereka outbound. Belajar di alam. Atau perkemahan sabtu malam ahad. Sesekali nampak wajah ceria tadi muncul kembali.
Namun, manakala berada di dalam kelas. Kembali wajah serius tadi muncul. Kelas yang tegang. Tidak ada kegairahan . Wajah yang tegang dan serius memelototi lembaran buku LKS. Sepertinya yang namanya ‘belajar’ harus seperti itu. Terkadang guru harus teriak untuk mendiamkan suasana gaduh di kelas. Seolah belajar di kelas ‘standartnya’ harus selalu diam. Seolah belajar hanya dimanaknai seperti menyetel tape berulang-ulang. Pertanyaannya , mengapa hal tersebut terjadi?. Mengapa anak tidak lagi seceria ketika di TK dulu. Mengapa ? dan segumpal pertanyaan lain muncul mengapa ?. Suatu ketika saat ketemu guru pengajar kelas kecil (kelas 1, 2, 3) , saya bertanya mengapa hal itu bisa terjadi. Dengan wajah polos dan sedikit gundah ia tidak bisa menjawab. Saya jadi kasihan ketika wajahnya diliputi kebingungan untuk menjawabnya.
Ah, saya jadi teringat ketika saya masih sekolah di bangku SD. Hal yang amat saya sukai adalah waktu ketika istirahat. Karena bisa main gulat dengan teman sekelas. Embek-embekan istilahnya. Saya senang dan puas ketika berhasil mengalahkan teman tersebut. Penuh keceriaan. Atau saat ketika mencari belalang di belakang sekolah. Bahkan saat itu pernah mencuri mentimun disamping sekolahan milik tetangga. Atau saat main jumpritan dengan anak perempuan, atau latihan memanah dengan menggunakan sapu lidi.
Saat saya menuliskan kisah belajar di SD ini, saya jadi teringat dengan buku Fauzil Adhim : Positif Parenting penerbit Mizania 2006, yang mengutip perkataan Imam Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumidin, beliau mengatakan ” hendaklah anak kecil diberi kesempatan bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasannya, dan membuatnya jemu terhadap hidup, sehingga ia akan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek ini.”.
Aneh memang, pembelajaran di kelas hampir semuanya blank dari ingatan. Yang tersisa paling-paling ketika Pak Guru menjelaskan sistem kerja lokomotif karena menggunakan alat peraga loko mini. Atau ketika pak guru tadi membuat lingkaran dan rokok yang ia tiupkan dari mulutnya. Atau saat ketika siswa perempuan dan laki-laki dicampur duduk berdua. Sekali lagi, pembelajaran lainnya hampir nyaris tidak masuk dalam file otak di kepala. Atau cobalah ingat-ingat kembali saat anda belajar naik sepeda. Berapa kali jatuh ? . Dimana dan kapan anda belajar naik sepeda. Pernahkah menabrak dan masuk selokan dan seterusnya. Hampir dari seluruh peserta dalam pengalaman mengisi pelatihan bagi guru, rata-rata mereka mampu mengingat begitu detail. Bahkan warna dan bentuk sepeda mereka ingat betul. Apakah Anda demikian juga ?. mengapa hal ini bisa terjadi ?. yang jelas, Intinya ialah, hal-hal yang mampu teringat adalah ketika semua indera terlibat dan perasaan terlibat apalagi pengalaman yang menggetarkan jiwa. Bis adipastikan kita akan mampu mengingat peristiwa tersebut dengan jelas. Karena ia tersimpan dalam pikiran bawah sadar kita, yang 82 % menguasai pikiran kita. Nah, kita akan mencoba menilik dan belajar dari semua hal tersebut diatas.
Dalam keseluruhan proses pembelajaran, Benyamin Bloom di tahun 1953 menteorikan bahwa aspek kognitif, afektif dan psikomotorik harus terlibat. Dalam pembelajaran, manakala ketiga aspek tersebut dilibatkan, yaitu ketika indera dan saraf otak, serta psikologis termuat dalam satu keseluruhan pembelajaran, bisa dipastikan pebelajaran tersebut menggairahkan.
Sekitar era-80 an kita kenal CBSA (cara belajar siswa aktif). 90-an kita kenal PAKEM.(pembelajaran aktif kreatif menyenangkan). Namun lihatlah, apakah hal tersebut telah teraplikasikan dalam pembelajaran guru. Seolah ia merupakan berita manis dari langit, namun tidak pernah membumi. Cobalah tanyakan kepada guru, apakah ia memahami apa itu pembelajaran aktif. Lantas tanyakan bagaimana teknik yang dipakai. Rata-rata bisa jadi kesulitan menjawabnya. Paling-paling mereka akan menjawab, o itu pembelajaran yang aktif dan menyenangkan itu. Setelah itu selesai.
Hal – hal yang dibutuhkan dalam pembelajaran yang menggairahkan, tidak hanya sekedar tahu teori namun harus dipraktekkan dalam pembelajaran. Seperti , prakondisi pembelajaran seperti pembuatan kesepakatan pembelajaran di kelas harus dibuat.
Biarkan anak-anak sendiri yang membuat peraturan untuk disepakati bersama. Penataan lingkungan pembelajaran yang harus kondusif. Pemakaian musik, tanaman di kelas dan uba rampe lainnya. Yang juga penting adalah metodologi yang kreatif dan inovatif. Ada ratusan strategi dan metodologi pembelajaran yang harus dikuasai guru. Beberapa metodologi pembelajaran yang penulis praktekkan, tidak saja dalam pembelajaran di kelas namun juga pelatihan, terbukti efektif . Dijamin siswa aktif dan menggairahkan terlibat dalam keseluruhan pembelajaran.
Masihkah anda ingat ’bawalah dunia mereka kedalam dunia kita, antarkan dunia kita kedalam dunia mereka” adalah azas Utama quantum teaching. Artinya, anda belum berhak mengajar anak-anak manakala mereka belum siap secara afektif . Ingat, Anda belum sepenuhnya jadi guru mereka, ketika mereka belum siap diajar. Meski Anda telah meraih ijazah sarjana pendidikan. Pembelajaran adalah cerita lain. Tiap hari memiliki ciri khasnya sendiri. Bukankah awan di timur ketika matahari terbit, selalu menampakkan pemandangan yang berbeda tiap hari. Subhanalloh. Maka upayakan metode pengajaran kepada anak Anda harus berbeda.
Ketika awal pembelajaran, sesekali berikanlah sebuah cerita yang menggugah jiwa. Carilah cerita yang sesuai dengan materi ajar yang akan anda berikan. Fauzil Adhim menuturkan bahwa, cara yang efektif, untuk memengaruhi jiwa anak adalah cerita. Semakin kuat sebuah cerita semakin besar pengaruh yang menggerakkan jiwa. Pada saat jiwa anak tergugah, maka sinyal afeksi-nya mulai berpijar. Maka saat itu pula kognitif anak juga akan berpijar. Benarlah apa yang dikatakan oleh para ahli neurology, bahwa kognitif dan afektif amat sangat berdekatan.
Ketika memulai suatu pembelajaran, cek terlebih dahulu wajah siswa satu persatu. Sambil bergurau tanyakan pada siswa adakah wajah yang cemberut. Mintalah teman satu bangku untuk mengecek wajah temannya. Ingatkan Hadist Rosulullah bahwa senyum adalah sodaqoh. Ketika pertengahan pembelajaran, jangan lupa untuk selalu memastikan kondisi psikologis anak. Bila sudah nampak jenuh, anda wajib untuk membuat ice breaking yang menyegarkan jiwa. Ingat, tingkat konsentrasi anak kurang lebih sesuai dengan umur anak. Anak berusia 8 tahun, kurang lebih konsentrasinya 8 menit. Sehingga ada masa jeda untuk memecah kembali kebekuan.
Ice breaking tergantung situitasi dan kondisi. Game yang menantang kognitif anak biasanya amat disukai. Atau cerita humor. Kadang tebak-tebakkan. Boleh bernyanyi. Atau tepuk konsentrasi. Dan sekian banyak permainan lain yang anda sukai. Sangat ideal bila setiap pembelajaran ada media belajar yang mendukung. Hal ini akan sangat membantu secara keseluruhan proses pembelajaran. Bukankah benda yang realistik dapat mendekatkan pemahaman otak anak.
Sekelumit proses pembelajaran diatas, insyaalloh bila dipraktekkan, akan kita jumpai lagi wajah ceria anak. Antusiasme dan kegairahan yang menyala. Layaknya pembelajaran anak TK yang pernah kita lihat. Anda akan menjadi guru yang semangatnya tetap menyala meski telah mengajar 20 tahun sekalipun. Tidak ada kebosanan. Karena setiap hari anda dapati kegairahan baru. Semangat baru. Antusiasme dan tantangan pembelajaran yang baru. Semoga.
Hakekat Pembelajaran Guru
Oleh : Muh. Anang Prasetyo S.Pd
Beberapa waktu lalu saya mendapat SMS dari murid SMP saya. Sekarang ia sudah kelas 2 SMA. Di sebuah sekolah negeri favorit di kota marmer . Isinya sebenarnya biasa. Tapi membuat saya menjadi tercenung , gundah dan sedih. Ia menjawab SMS yang saya berikan ”bagaimana sekolahmu nak...”. sebuah pertanyaan biasa untuk menanyakan bagaimana belajarnya di sekolah. Ia menjawab begini : ”waduh pak, seperti di neraka saja. Pinginnya segera istirahat. Trus pulang”. Awalnya saya sempat tersenyum sembari mengingat bagaimana dulu ketika ia masih duduk di SMP. Pembelajaran yang menghidupkan hati. Alami. Penuh motivasi jiwa dan membangkitkan nurani. Seakan tiada sekat antara guru dengan murid. Dalam suasana kekeluargaan yang hangat. Hal ini banyak diakui oleh teman yang seangkatan.
Namun, sejurus kemudian saya menjadi sedih dan empatik. Bukannya apa, murid saya tersebut termasuk tipe pembelajar kinestetik. Sulit untuk berdiam diri barang sebentar. Ada saja yang dilakukannya. Ia amat mahir elektronik. Kognitifnya terbatas. Namun empatik-nya dan kedermawanannya tinggi. Membayangkan bagaimana ia belajar, saya jadi teringat pembelajaran yang dilakukan oleh guru, barangkali persis seperti yang saya alami ketika masih duduk di SMA. Saya tidak bisa berkata lagi. Ada keinginan yang meluap. Untuk mendatangi murid saya. Mengajarinya kembali, sebagaimana dulu.
Kasus yang menimpa salah satu murid saya tadi, barangkali bukan dia saja yang mengalami. Ratusan bahkan mungkin ribuan anak lain. Para siswa yang diajar di sekolah dengan model disuapi. Tidak ada eksplorasi pembelajaran. Keringnya kreativitas. Proses belajar sebagai suatu finding yang hilang. Hanya mengasah kognitif saja. Itupun barangkali hanya sebatas recalling semata. Dalam skala kognitif hanya c1 paling banter c3. Jangan ditanya apakah pembelajarannya membangkitkan ruh dan jiwa. Alih-alih memfungsikan nilai afektif, yang ada hanyalah pelototan mata, dan mungkin kata yang tiada bersahabat.
Hal tersebut masih saja saya jumpai, bahkan ketika saya belajar S2 Manajemen Pendidikan. Mungkin teramat naif membayangkan proses pembelajaran dalam perkuliahan dengan model belajar yang menggairahkan dan menyenangkan. Untuk menjadi dosen yang bermartabat harus dengan wajah yang seram dan menyeramkan. Pernah ada yang mengajarkan quantum teaching, namun dengan cara yang sama sekali a-quantum teaching. Ya sebatas kognitif semata. Tidak ada lagi azas utama quantum teaching ”bawalah dunia mereka kedalam dunia kita dan antarkan dunia kita ke dalam dunia mereka” apalagi prinsip segalanya berbicara atau kerangka utama Quantum yang mengajarkan model TANDUR (tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi dan rayakan). Ah lupakan sajalah, ini S2 bung !.
Nampaknya, semangat dan model pembelajaran guru yang telah sekian lama mengajar menjadi tumpul. Betapa pesona yang sempat moncer itu hanya di awal mulai mengajar dulu. Dan betapa pesona tadi ada yang hanya bertahan setahun. Dua tahun maksimal mungkin lima tahunan. Lantas pesona guru yang inovatif, energik dan menggairahkan tadi mulai surut dan sebagian padam. Penyakit sebagai apologia adalah rutinitas. Namun, bukankah sesuatu rutinitas tersebut justru yang dicintai Alloh dan Rosulullah. Dimana Rosulullah mengatakan ” amal yang dicintai Allah adalah amal yang dilakukan secara ajeg kontinyu, istiqomah meski sedikit).
Benarlah kiranya cerita hikmah. Dimana ada dua orang penebang pohon. Yang pertama mengandalkan otot dan tubuh yang kekar, tidak mau berhenti barang sejenak untuk istirahat dan mengasah kapaknya. Sementara yang kedua sehabis menebang pohon. Ia selalu sempatkan untuk istirahat sembari mengasah kapaknya. Maka pada akhirnya, orang kedua tadilah yang mampu menebang pohon paling banyak.
Sebenarnya, banyak lahan dan media untuk ’mengasah kapak kemampuan guru’. Sekian banyak pelatihan digelar. Sekian workshop dilaksanakan. Semuanya bertujuan untuk memberdayakan kemampuan pengajaran guru. Sejauh pengetahuan penulis, seperti yang dilakukan oleh Konsorsium Pendidikan Islam (KPI) Surabaya. KPI Surabaya secara rutin menggelar berbagai jenis dan ragam pelatihan bagi guru. Tidak hanya di Pulau Jawa bahkan di luar Jawa. Ada juga TRUSTCO yang sebagiannya bergerak kepada pembinaan dan pelatihan bagi guru. Atau tengoklah kiprah Lembaga Pemberdayaan Pendidikan (LPP) Kayyisa Dinamika Tuban, yang juga sering mengadakan berbagai pelatihan metodologi pembelajaran dan motivasi bahkan outbound bagi guru.
Meskipun demikian selalu saja ada kisah sedihnya. Kalaupun akhir-akhir ini, khususnya paska pemberlakuan sertifikasi guru, maraknya berbagai seminar, pelatihan dan lain-lain dilaksanakan bukan untuk mengejar kompetensi pedagogik guru. Hanya untuk selembar sertifikat. Ya hanya selembar kertas bernama sertifikat. Lumayan untuk menjadi bukti bahwa ia layak mendapat tunjangan fungsional. Ah sudahlah. Biarkan cerita tersebut terjadi.
Kembali pada proses pembelajaran seorang guru. Sepertinya sudah menjadi kewajiban setiap kepala sekolah, dalam lingkup paling kecil, sekaligus selaku penanggung jawab sekolah. Untuk menggugah motivasi dan kemampuan guru, perlu merancang berbagai pelatihan yang dibutuhkan guru. Pelatihan yang menjawab masalah teoritis konseptual hingga tataran praktis pengajaran. Bahkan pelatihan berbasis ESQ guna menggugah pembelajaran yang bermakna dan bernilai spiritual.
Apalagi jika dilaksanakan secara gradual. Terus menerus dan berkesinambungan. Insyaalloh dapat dipastikan kemampuan dan motivasi guru akan meningkat signifikan.
Kemudian langkah berikutnya yaitu dampingi. Istilahnya lainnya adalah coaching. Meski saya tidak tahu, apakah tipe kepala sekolah demikian ada di setiap sekolah. Sebab penelitian terakhir diseluruh Indonesia hanya 30 % persen yang layak menjadi kepala sekolah. Dengan indikator kompetensi salah satunya adalah kepala sekolah sebagai wirausahawan. Mungkin, kompetensi sebagai coaching juga tidak dimiliki.
Sebagai bentuk penghargaan, mintalah guru bersangkutan untuk menyampaikan testimoni atau bagi yang mampu dipersilahkan sebagai pemateri mengisi pelatihan sebagaimana yang telah ia terima kepada kelompok kerja guru yang lain, misalnya. Maka ini adalah bentuk penghargaan yang tinggi nilainya. Dibanding dengan reward berupa materi intrinsik berupa uang misalnya.tetap semangat belajar dan mengajar. jadilah pembelajar sejati.
Pembelajaran Terintegrasi
Oleh : Muh. Anang Prasetyo S.Pd
Suatu ketika, saat saya menjadi guru di sebuah SMA Swasta di Jogjakarta. Tahun 1997 –an. Saya diberi pertanyaan oleh salah seorang guru agama Islam. Mengapa saya mengajar pelajaran seni rupa koq menyertakan masalah aqidah, syariah dan masalah akhlaq perilaku siswa. Sekedar informasi, mungkin saya satu-satunya guru ”non agama” yang diminta oleh anak untuk mengisi kajian keislaman secara rutin. Karena sebagian besar pengisi kajian adalah notabene guru agama.
Saat itu, masyalloh, saya belum begitu menyadari dan bahkan tidak tahu hakekat pendidikan integrasi. Yaitu suatu pendidikan yang menyatu padukan materi pengajaran dengan nilai-nilai dan prinsip Islam. Maka saya cukup menjawab ’agak’ sekenanya bahwa seni dalam artian umum mengajarkan keindahan. Maka sebagai senjata pamungkas , sering saya kutipkan hadist Rosulullah ”Innalloha jamiilun yuhibbul jamal” Alloh maha Indah dan menyukai keindahan. Keindahan Alloh terekspresikan dalam seluruh ciptaan-Nya. Alam semesta, manusia, hewan dan seluruh makhluq.
Maka, sekedar contoh. Ketika saya mengajarkan materi ilustrasi sketsa wajah manusia, terlebih dulu saya tunjukkan gambar wajah manusia yang ganjil. Gambar dari sebuah iklan rokok. Gambar wajah manusia yang aneh dan ganjil. Bagaimana tidak ganjil, karena mata terletak di bawah hidung, sementara telinga diatas mata. Saya tegaskan lagi dengan menggambarkan di papan tulis. Dengan sedikit humor, saya bertanya kepada siswa bagaimana ya kalau seseorang tadi buang ingus, pasti mengenai matanya. Anak-anak biasanya tersenyum dan tertawa. Nah, saat itulah, subhanalloh, saya kutipkan hadist diatas. Bahkan sedikit berbagi pengalaman, saat itu kebetulan ada petugas supervisor dari dinas, ia duduk di belakang. Ia tidak bisa menahan ketawanya. Dan di pertemuan seluruh guru, ia bahkan mengatakan bahwa sebenarnya tidak boleh tertawa.
Pada akhirnya, astaghfirulloh, betapa dhoifnya keilmuan penulis. Kelak sepuluh tahun kemudian baru saya sadari apa itu epistemologi. Yaitu suatu bagian dari filsafat yang mengajarkan tentang struktur bangunan keilmuan. Disisi lain ada ontologi dan axiologi. Ontologi mengajarkan tentang apa sesuatu itu. Sementara axiologi mengajarkan tentang manfaat dari sebuah ilmu. Lebih mendalam lagi, baru saya ketahui bahwa masing – masing peradaban memiliki wordview sendiri. Darinya terejawantahkan tiga hal pokok filsafat tersebut. Lebih menukik lagi ternyata masing-masing memiliki epistemologi sendiri. Yang akhirnya menyadarkan saya bahwa epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat.
Hal paling utama yang harus kita ketahui. Struktur bangunan keilmuan Islam (epistemologi Islam) berbeda dengan epistemologi keilmuan barat. Yakni, Islam, dibangun dengan keterpaduan ilmu kasbi dan wahbi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Ugi Suharto, dosen di ISTAC IIUM Malaysia (di majalah Hidayatulloh edisi....), ia mengatakan bahwa Ilmu yang pertama, sebagaimana dikenal dalam peradaban keilmuan barat, bernilai ilmiah dan empirisme. Sementara yang kedua berdasarkan pemahaman keilmuan dari pewahyuan dengan otoritas keilmuan untuk memperolehnya.
Hal ini berbeda dengan paradigma keilmuan barat yang menarik kebenaran berdasar logika formal dan mengandalkan empirisme semata. Bahwa ilmu tersebut hanya diperoleh dari apa-apa yang nampak dan terlihat mata. Sehingga tidak heran, banyak ahli yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan telah menjadi tuhan orang barat. Sehingga tidak heran, karena ’beraqidah’ filsafat materialisme, pada akhirnya hilanglah struktur spiritualitas dalam ranah keilmuan barat. Apa yang kita kenal sekarang dengan istilah sekularisme. Syekh Naquib al Athas (1981) mengatakan bahwa sekularisme mengandung makna suatu pandangan terlepasnya dunia dari religius dan menutup dari hal-hal metafisis.
Mengingat keseluruhan bangunan filsafat berakar pada manusia, akal dan fikiran manusia. Ini pula yang akhirnya melahirkan filsafat humanisme. Maka ,benarlah kata DR. Anik Malik Thoha ( di dalam bukunya Tren Pluralisme Agama, Perspektif : 2007) , bahwa sekularisme, humanisme dan pluaralisme adalah anak kandung filsafat materialisme. Ujung-ujungnya ia mengakibatkan terlepasnya seluruh nilai-nilai profan dalam struktur keilmuan.
Tidak heran jika kemudian ranah keilmuan, sebagaimana yang selama ini dikembangkan dalam kurikulum pendidikan nasional yang kita terima, telah tercerabut nilai kewahyuan dalam pembelajaran. Karena, fakta sejarah yang tidak bisa kita pungkiri. Bahwa pendidikan umum yang sekarang berkembang adalah warisan kolonial Belanda. Yang notabene berdasarkan arahan Snouck Hourgronje, untuk mengeliminasi kekuatan pendidikan di pondok pesantren. Tentu saja pendidikan yang dikembangkan, tidak jauh berbeda dengan struktur bangunan keilmuan barat yang saat itu menghegemoni peradaban keilmuan.
Saat ini. Tengah berkembang dan menjadi tren sekolah-sekolah Islam mengembangkan integrasinya nilai-nilai keIslaman dalam struktur pendidikan. Meskipun demikian, di beberapa sekolah islam terpadu, fenomena integrasi hanya menjadikan pembelajaran yang terpadu dalam pengertian khusus. Yaitu baik bermain, belajar dan beribadah dalam satu kesatuan berada di sekolah. Artinya, pendidikan integratif murni, dalam konteks peradaban keilmuan belum menjadi struktur utama bangunan keilmu-pengetahuan. Yaitu kesatupaduan nilai-nilai kasbi dan wahbi, sebagaimana dimaksud diatas.
Mengurai benang rumit permasalahan mendasar keilmuan dalam pendidikan bukan perkara gampang. Sebagai ilusrasi, hal ini belum masuk wilayah kompetensi keilmuan, masalah kurikulum , kompetensi guru, dan lain sebagainya. Sehingga tidak bisa kita salahkan ketika ada salah satu penerbit buku mencoba memasukkan ayat-ayat Quran ke dalam buku pelajaran. Terkesan menjadi asal tempel. Padahal yang dilakukan adalah upaya mulia. Yakni memasukkan nilai ayat-ayat quraniyah ke dalam ayat-ayat kauniyah. Namun, karena struktur epistemologis yang kurang kokoh, barangkali, kesan asal tempel tersebut lebih mencuat. Namun, sebagai pelipur dahaga. Bila kita menyaksikan VCD dan membaca buku-buku Harun Yahya, kesatupaduan ilmu kasbi dan wahbi tadi nampak dengan jelas. Yakni pemaparan penemuan fakta-fakta ilmiah (baik biologi, fisika, astronomi, paleontologi, kedokteran, sejarah dan lain sebagainya) , kemudian dikonfirmasikan dengan informasi Al Quran yang tidak ada bedanya. Artinya klop. Kesatuan ayat quraniyah dan kauniyah.
Sedikit mundur kebelakang. Beberapa tahun lalu juga mencuat untuk memasukkan pelajaran budi pekerti ke dalam satuan pelajaran di sekolah. Hal ini mengingat, anak-anak semakin pintar namun tidak dibarengi dengan perilaku dan akhlaq yang terpuji. Hal tersebut, bisa jadi berkat penelitian Daniel Goleman yang menyatakan bahwa IQ hanya menempati 20 % sementara EQ % dalam kesuksesan seseorang. Atau mungkin ada pertimbangan lain. Wallahua’lam.
Namun, jangan-jangan alih –alih ingin anak berakhlaq mulia, yang didapat sebaliknya, tetap saja. Karena akhlaq, perilaku tidak hanya sekedar diajarkan secara kognitif dengan sekian materi pelajaran dan bab-babnya. Sebagaimana bila di Madrasah ada pelajaran akhlaq. Tidak, sekali lagi bukan. Ia mengejawantah dalam segala pola perilaku yang telah terinternalisasi dalam diri guru. Sehingga yang nampak adalah keteladanan. Karakter yang kokoh dalam jiwa. Yang dengannya mampu memancarkan energi keberkahan dan nilai positif lainnya.
Nah, pendidikan yang muaranya teraplikasikan dalam pembelajaran , pada akhirnya harus integratif. Bersatu padu. Tidak saja dalam paradigma keilmuan, ataupun epistemologi Islam. Termasuk penanaman nilai akhlaq dan perilaku. Apapun pelajaran yang disampaikan guru. Dan bagaimanapun keadaannya. Secara keseluruhannya adalah pembelajaran yang holistik dan integratif. Bila hal ini dapat terlaksana. Alangkah indahnya bangunan pendidikan Islam.
Sehingga, pertanyaan dari salah seorang guru agama di awal tulisan ini, jika memahami alur pemikiran dan epistemologi Islam, bisa dipastikan ia justru akan semakin bersemangat mengajarkan nilai-nilai aqidah, syariah dan akhlaq ( pelajaran yang dia kuasai dan ajarkan) dengan mengkontekstualkan dan dukungan penuh kepada mata pelajaran ”non agama ” lainnya. Atau bahkan sebaliknya, manakala seorang guru mengajarkan pelajaran biologi, fisika, sosiologi,dan pelajaran lain misalnya, ia akan menjadi waliyulloh. Kekasih Alloh sejati. Atau minimal ulul albab, seperti yang dikatakan Allah. Alladzi na yadzkurunalloh qiyaman wa quudan wa’ala junubihim, dimana ia selalu memuji Allah, dalam keadaan berdirinya, duduk dan berbaringnya.
Bila demikian halnya, sepertinya tidak pas lagi, jika kita masih mengkotakkan ilmu agama dan ilmu umum (non agama). Yang ada barangkali sebagaimana pendapat Imam Al Ghozali, yakni ilmu yang bersifat fardhu ain dan ilmu yang bersifat fardhu kifayah.atau istilah lain yang juga dipakai adalah ilmu khos dan ilmu 'aam. Muara dari itu semua sebenarnya adalah penghambaan kepada Alloh dalam pembelajaran kita. pada saat pembelajaran akan menggairahkan jiwa, menajamkan fikiran, dengan kesatuan keilmuan yang integral , sangat boleh jadi yang muncul saat pelajaran adalah kata-kata tahsin. Subhanalloh, masyalloh, Allohu Akbar. Wow.. subhanalloh, betapa dahsyatnya pembelajaran anda !!!.
Jumat, 24 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar